KYAI NADJIB CUCU WALI : PENJAGA MAKAM WALI DAN PENCETUS GENERASI WALI
Kyai Nadjib Cucu Wali: Penjaga Makam Wali & Pencetak Generasi Wali
Dr. M. Rikza Chamami, MSi
Pengasuh Pondok Pesantren Al Amanah Kota Semarang & Dosen UIN Walisongo Semarang
Berita wafatnya guru, orang tua sekaligus mentor saya KH Em Nadjib Hassan sungguh mengagetkan. Sepulang dari khutbah Jum'at di Masjid Koveri Ngaliyan Semarang saya tidak sempat buka HP. Baru sampai rumah, tiba-tiba banyak telpon masuk yang semuanya memberikan kabar wafatnya "Pak Ji", demikian saya akrab memanggil beliau. Ternyata di group WA alumni Madrasah Qudsiyyah dan beberapa group WA Nahdlatul Ulama juga sudah tersebar informasi wafatnya M-1, sebutan populer beliau.
Spontan saya menelpon Pj Bupati Kudus yang berada di Rumah Sakit Daerah Kudus menunggu jenazah, tapi ya namanya Pj Bupati belum sempet angkat HP. Saya telpon Sang Ajudan Gus Anas Imron Abu Amar, langsung ia mengangkat dan spontan jawab: "Leres Kak, Pak Nadjib kapundut. Niki kulo taseh kaleh Mas Hasan Pj Bupati di RS". Spontan hatiku buyar dan sedih mendengar kepastian wafatnya Pak Ji. Tak lama kemudian, Pj Bupati telpon saya dan memberikan jawaban jawaban sama: "Yo Za, ini saya masih di RS. Doakan husnul khatimah".
Bagiku, Pak Ji adalah segala-galanya. Beliau yang jadi guru saya Tafsir Jalalain di Madrasah Qudsiyyah, jadi orang tua saya karena selalu perhatian yang luar biasa hingga mencarikan beasiswa S2 saya. Beliau juga mentor dalam berorganisasi dan mengabdi kepada masyarakat.
Seringkali setiap jumpa saya yang ditanyakan adalah Bapak saya, Chamami Tolchah. "Bapak sehat Mas?..." begitu kalimatnya. Sebab Pak Ji adalah pernah menjadi murid Bapak saya. "Aku pernah diajar Bapakmu, jadi ya gantian sekarang kamu jadi muridku" tegasnya.
Setiap pulang ke Kudus, Bapak dan Ibu saya selalu menyentil saya: "Ik (panggilan akrab saya di Kudus), sempatkan sowan Kaji Nadjib biar barokah, sampean iso S2 itu ya karena jasa beliau" demikian nasehat Bapak saya. Demikian juga Ibu saya Masfiyah Masruhan seringkali ingatkan saya jika pulang ke rumah Kudus: "Nang... Kaji Nadjib itu bukan sembarang orang, dia itu asli cucunya Mbah Sunan Kudus dari jalur Ayah dan Ibu. Anutlah nasehatnya ya Nang. Mulyo uripmu nek nganut putu Wali" tegas Ibu saya.
Ibu saya hafal sekali dengan keluarga Pak Ji karena sama-sama asli orang Kauman Menara Kudus. Bahkan hafal silsilah keluarga besar Pak Ji dari jalur ayah dan ibunya, termasuk hafal semua saudara-saudara Pak Ji. Maklum saja sejak kecil Ibu lahir di bawah Menoro Kudus, demikian juga Pak Ji dibesarkan di bawah Menoro Kudus. Sama-sama "Wong Ngisor Menoro".
Pernah suatu ketika saya diundang acara ke Kudus oleh Pak Ji, tapi saya udzur ada acara padat di Semarang. Tiba-tiba Ibu saya telpon. "Ik ora muleh (Rikza tidak pulang)?..." tanya Ibu. "Tidak, masih ada acara di Semarang" jawabku. Dengan nada lirih Ibu merayu saya agar pulang dan sampai hari ini kalimat itu masih tidak bisa saya hapus dalam memori saya: "Usahakan pulang walau sebentar, diundang putune wali diestokke ya Nang insyaallah barokah (diundang cucunya Sunan Kudus harus kamu utamakan insyaallah barokah)". Ambyar semuanya dan berubahlah pilihan saya untuk hadir ke Kudus.
Salah satu kenangan yang tidak bisa saya lupakan dari Pak Ji adalah saat saya lulus kuliah S1. "Habis ini mau kemana?..." tanya beliau. Saya bingung tidak jawab. Langsung saja beliau minta saya membantu menyiapkan proposal penelitian Yayasan CeRMIN di kantor YM3SK di tahun 2004. Tidak lama kemudian saya melanjutkan S2 dan beliau carikan saya beasiswa.
Tepat 27 Rajab tahun 2004 beliau telpon saya setelah saya aqdun nikah di Bojonegoro; "Mas selamat ya... Semoga sakinah mawadah warahmah. Dan selamat beasiswa S2mu insyaallah cair. Besok kalo sudah sampai Semarang langsung diambil ya!" tegasnya sambil senyum lebar bercanda di telpon. Bisa dibayangkan, jadi pengantin baru dapat kado beasiswa dari Sang Guru. Masya Allah.
Saya seringkali disampaikan ke saya adalah soal pentingnya ziarah ke para wali. Suatu ketika saya jagong hingga larut malam di rumahnya, saya digojlok habis-habisan hanya karena nama kampus saya WALISONGO tapi kalau Dies Natalis tidak ada Ziarah Makam Walisongo. "Mosok kalah karo UNDIP to Za (masak kalah sama Undip to Rikza)" candanya ke saya sambil ketawa-tawa. Lalu ia menceritakan Mas Ayik (Ketua KPU Pusat H Hasyim Asy'ari) yang selalu bercerita kalau setiap Universitas Diponegoro ada Dies Natalis digelar ziarah ke makam Pangeran Diponegoro.
Setelah saya sowan dinasehati tentang ziarah Makam Walisongo, saya beranikan matur ke pimpinan-pimpinan UIN Walisongo yang saat itu dipimpin Prof Dr Muhibbin MAg dan langsung direspon rutin setiap Dies Natalis UIN Walisongo ada ziarah Walisongo. Saya pun matur ke Pak Ji dan beliau gembira. "Lha kui bener, kampuse Walisongo yo eling ziarah Walisongo" katanya.
Saat rombongan UIN Walisongo ziarah ke makam Sunan Kudus, saya dipanggil Pak Ji. "Mas Rikza ikut masuk sana" kata beliau ke saya. Saya belum paham maksudnya, ternyata saya diminta masuk ke cungkup utama makam Sunan Kudus langsung perintah beliau. Akhirnya saya masuk dan tangisan air mata tidak bisa kutahan, tumpah deras bahagia bisa masuk ke makam Mbah Sunan.
Setelah selesai sambil canda, pundakku dipegang sambil nanya: "Sudah pernah masuk?...". "Dereng nate Pak Ji (belum pernah)" jawabku. Sambil senyum beliau bilang: "Wong Menoro, tonggo Mbah Sunan, rung tau sowan Mbahe Menoro, ini barokahe nderek Rektor sampean iso mlebu". Dari situlah saya mulai sambung dengan Kanjeng Sunan Kudus dan sering setelah itu bisa ziarah masuk cungkup Sunan Kudus. Alhamdulillah.
Ini semuanya pelajaran berharga dari Pak Ji. Beliau menjadi figur penjaga makam wali dan tidak segan membimbing saya mengenalkan semua pengurus makam Walisongo dari ujung Cirebon hingga Gresik. Satu persatu beliau kasih nomor HPnya dan dikenalkan dari UIN Walisongo akan ziarah untuk hormat Wali karena kampusny pakai nama wali-wali berjumlah sembilan.
Pak Ji, kini beliau sudah tiada tapi jasa ilmunya luar biasa. Tafsir Al Qur'an yang sudah menjadi mudah dipahami. Beliau keturunan Sayyid Ja'far Shodiq Sunan Kudus yang selalu konsisten menjaga makam Sang Wali tetap lestari dan manfaat. Beliau selalu ingin mencetak generasi-generasi yang meneruskan perjuangan wali dengan ilmu, budaya, organisasi dan jejaring kemasyarakatan.
Saat beliau ke Semarang menghadiri acara UIN Walisongo sempat tanya ke saya soal pembangunan Pondok Pesantren Al Amanah yang disupport oleh Ustadz Zuhal Abdul Lathif dan beliau memberikan doa pondoknya nanti bisa besar, barokah dan mencetak generasi Al Qur'an yang ilmunya sambung-menyambung dengan Rasulullah Saw. "Seng tenanan nek nyekel pondok pesantren, kudu diengkremi lahir bathin yo Mas (Yang serius kalau mengelola pondok pesantren, harus ditunggui lahir batin ya Mas Rikza)" pesan beliau ke saya.
Kisah saya dengan beliau tidak akan selesai saya tulis hanya dengan satu tulisan saja. Semoga ada waktu lagi melukiskan kisah-kisah mulia Pak Ji.
Beliau insyaallah ahli surga. Wafat di hari Jum'at Legi akhir Rajab, hari mulia.
Selamat jalan Sang Cucu Wali.
Tidak ada komentar: