MAMA AJENGAN KHR ABDULLAH BIN NUH

Mama Ajengan KHR ABDULLAH BIN NUH adalah seorang mahaguru ulama dari Tatar Sunda keturunan ketujuh dari EYANG DALEM WIRATANU DATAR (DALEM CIKUNDUL), Cianjur. Ia dikenal sbg ulama produktif menulis. Lebih dari 70 buah karya tulis lahir dari pemikirannya dalam bidang fiqh, ushuludin, sejarah, sastra dan sebagainya. Sebagian karyanya telah tersebar dan menjadi rujukan di berbagai belahan dunia Islam.

Menurut KH Toto Mustofa Abdullah Bin Nuh,  (putra Mama Ajengan Abdullah Bin Nuh), Mama Ajengan Abdullah bin Nuh merupakan seorang ulama yg teguh dan gigih dalam memperjuangkan Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) sbgmana terangkum dalam karya monumentalnya sebanyak 36 jilid Ana Muslimun, Suniyyun, Syafi'iyun yg telah dicetak di Mesir.

Di Bandung Barat, jejak Mama Ajengan Abdullah Bin Nuh merupakan salah satu tokoh penting berdirinya Pondok Pesantren Pembangunan Sumur Bandung (P3SB) Cililin tahun 1970 bersama KH Mayor Makmun dan Kiai Supardan.

Mulai 10 Februari 2018, rencananya karya2 intelektual ulama Sunda kelas Internasional ini akan secara rutin dikaji bersama ajengan2 Bandung Barat dipandu langsung oleh putranya KH Toto Mustofa Abdullah Bin Nuh.

Sumber: nu.or.id
--------

SEJARAH AJENGAN KHR ABDULLAH BIN NUH, ULAMA PRODUKTIF YANG MENDUNIA

Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yg memiliki peran besar dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali Bogor.

Siapa sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yg berasal dari kalangan pesantren maupun kampus.

Mama, demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yg dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di Tasikmalaya.

Lebih terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut: KH Abdullah bin Nuh putera RH Idris, putera RH. Arifin, putera RH Sholeh putra, RH Muhyiddin Natapradja, putra R Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra R Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra R Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra R Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra R AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).

Di masa kanak2, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.

Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yg didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yg terbit di Surabaya.

Setamat dari Madrasah Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bantu.

Selama di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yg ada pada dirinya, antara lain: mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut.

Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar SYAHADATUL ‘ALIMIYYAH yg memberinya hak untuk mengajar ilmu2 Keislaman.

Periode tsb berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dgn menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yg terbilang masih kerabat dekatnya.

Nama KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai, cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sbg penerjemah buku2 al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yg berlokasi di Kota Bogor.

KH Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yg mendalam tentang al-Ghazali. Pertama, ia mengajar rutin kitab Ihya’ Ulumuddin dalam pengajian mingguan yg dihadiri banyak ustadz2 di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab2 Imam al-Ghazali, di antaranya Ihya’ Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dgn nama Pesantren al-Ghazali.

Salah seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang mendapat pendidikan agama yg serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara autodidak.

Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair2 dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yg pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab KH Abdullah bin Nuh.

Di awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah2 radio berbahasa Arab. Naskah yg disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yg sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Ia sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yg saya buat,” kata Maftuh.

Dalam konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.

Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar2 merupakan tahun penderitaan yg amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yg berasrama di Semplak Bogor.

Tahun 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta.

Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yg sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan2 seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yg kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yg hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda. Di ibukota negara yg baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.

Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yg kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yg dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yg merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI.

Dari pernikahannya dgn Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dgn istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak.

Ibu Canjur Dan Putra-Putrinya

Ibu Cianjur adalah Almarhumah Ny. Rd. Mariyah (Ibu Nenden). Adapun Putra-putrinya adalah.

Rd. Ahmad (Tanggerang) (Almarhum)
Rd. Wasilah (Tanggerang) (Almarhumah)
Rd. Hj. Romlah (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor) (Almarhum)
Rd. Hamid (Australia)

Ibu Bogor Dan Putra-Putrinya:

Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin). Adapun Putra-putrinya adalah:

Rd. Aminah (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Aisyah (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Hj. Mariyam (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Zahiro (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Zulfa (Balitro, Bogor)
Rd. H. M. Mustofa (Kotaparis, Bogor)

Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah memegang jabatan sbg Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sbg Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis ta’lim bernama al-Ghazali. Majelis yg berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dgn dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak2 (TK) hingga menengah atas.

Selama masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar2 tentang Islam di beberapa negara, antara lain Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang yg terampil dan dinamis.

Selama hidupnya, tokoh NU yg telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku terjemahannya yg paling dikenal yaitu Minhajul ‘Abidin (Menuju Mukmin Sejati) dari karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yg paling dikenal dan terus dipelajari oleh para santrinya di beberapa pesantren yg berada di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yaitu Ana Muslim.

Dalam memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan2 yg telah ia terbitkan. Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah). Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu kekuatan yg dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan bahasa.

Diantaranya ia menyatakan: ”Anda saudaraku, karena kita sama2 menyembah Tuhan yg satu. Mengikuti Rasul yg satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama2 lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama2 bernaung dibawah langit kemanusian yg sempurna. Dan sama2 berpijak pada bumi kepahlawanan yg utama”.

Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba oleh mereka yg ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk diamalkan.

Tampaknya ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah2nya umat Islam di dunia ini sehingga kaum yg memusuhinya dgn mudah mengadu domba diantara kita. Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yg paling benar, sedangkan yg lainnya salah.

Sekalipun ia mantan pimpinan Daidanco yg nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan akidah.

Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Di antara karyanya yg terkenal adalah : (1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia), (2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia), (3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia), (4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia), (5) Tafsir al Qur’an (bahasa Indonesia), (6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia), (7) Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait), (8) Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda), (9) Al Alam al Islami (bahasa Arab), (10) Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram (bahasa Arab), (11) Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab), (12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab), (13) Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah (bahasa Arab), (14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia), (15) Al Munqidz min adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia), (16) Panutan Agung (terjemah ke bahasa Sunda).

Ada sejumlah sarjana yg menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof Dr H Ridho Masduki yg menulis disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang “Ukhuwah Islamiyah Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.” Dudi Supiandi, menulis tesis master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.” 

Sumber : Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor
http://kangasepiyantea.blogspot.com
https://www.rumahaswaja.comMama Ajengan KHR ABDULLAH BIN NUH adalah seorang mahaguru ulama dari Tatar Sunda keturunan ketujuh dari EYANG DALEM WIRATANU DATAR (DALEM CIKUNDUL), Cianjur. Ia dikenal sbg ulama produktif menulis. Lebih dari 70 buah karya tulis lahir dari pemikirannya dalam bidang fiqh, ushuludin, sejarah, sastra dan sebagainya. Sebagian karyanya telah tersebar dan menjadi rujukan di berbagai belahan dunia Islam.

Menurut KH Toto Mustofa Abdullah Bin Nuh,  (putra Mama Ajengan Abdullah Bin Nuh), Mama Ajengan Abdullah bin Nuh merupakan seorang ulama yg teguh dan gigih dalam memperjuangkan Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) sbgmana terangkum dalam karya monumentalnya sebanyak 36 jilid Ana Muslimun, Suniyyun, Syafi'iyun yg telah dicetak di Mesir.

Di Bandung Barat, jejak Mama Ajengan Abdullah Bin Nuh merupakan salah satu tokoh penting berdirinya Pondok Pesantren Pembangunan Sumur Bandung (P3SB) Cililin tahun 1970 bersama KH Mayor Makmun dan Kiai Supardan.

Mulai 10 Februari 2018, rencananya karya2 intelektual ulama Sunda kelas Internasional ini akan secara rutin dikaji bersama ajengan2 Bandung Barat dipandu langsung oleh putranya KH Toto Mustofa Abdullah Bin Nuh.

Sumber: nu.or.id
--------

SEJARAH AJENGAN KHR ABDULLAH BIN NUH, ULAMA PRODUKTIF YANG MENDUNIA

Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yg memiliki peran besar dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali Bogor.

Siapa sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yg berasal dari kalangan pesantren maupun kampus.

Mama, demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yg dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di Tasikmalaya.

Lebih terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut: KH Abdullah bin Nuh putera RH Idris, putera RH. Arifin, putera RH Sholeh putra, RH Muhyiddin Natapradja, putra R Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra R Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra R Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra R Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra R AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).

Di masa kanak2, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.

Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yg didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yg terbit di Surabaya.

Setamat dari Madrasah Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bantu.

Selama di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yg ada pada dirinya, antara lain: mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut.

Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar SYAHADATUL ‘ALIMIYYAH yg memberinya hak untuk mengajar ilmu2 Keislaman.

Periode tsb berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dgn menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yg terbilang masih kerabat dekatnya.

Nama KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai, cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sbg penerjemah buku2 al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yg berlokasi di Kota Bogor.

KH Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yg mendalam tentang al-Ghazali. Pertama, ia mengajar rutin kitab Ihya’ Ulumuddin dalam pengajian mingguan yg dihadiri banyak ustadz2 di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab2 Imam al-Ghazali, di antaranya Ihya’ Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dgn nama Pesantren al-Ghazali.

Salah seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang mendapat pendidikan agama yg serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara autodidak.

Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair2 dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yg pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab KH Abdullah bin Nuh.

Di awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah2 radio berbahasa Arab. Naskah yg disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yg sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Ia sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yg saya buat,” kata Maftuh.

Dalam konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.

Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar2 merupakan tahun penderitaan yg amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yg berasrama di Semplak Bogor.

Tahun 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta.

Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yg sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan2 seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yg kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yg hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda. Di ibukota negara yg baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.

Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yg kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yg dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yg merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI.

Dari pernikahannya dgn Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dgn istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak.

Ibu Canjur Dan Putra-Putrinya

Ibu Cianjur adalah Almarhumah Ny. Rd. Mariyah (Ibu Nenden). Adapun Putra-putrinya adalah.

Rd. Ahmad (Tanggerang) (Almarhum)
Rd. Wasilah (Tanggerang) (Almarhumah)
Rd. Hj. Romlah (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor) (Almarhum)
Rd. Hamid (Australia)

Ibu Bogor Dan Putra-Putrinya:

Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin). Adapun Putra-putrinya adalah:

Rd. Aminah (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Aisyah (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Hj. Mariyam (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Zahiro (Kotaparis, Bogor) (Almarhumah)
Rd. Zulfa (Balitro, Bogor)
Rd. H. M. Mustofa (Kotaparis, Bogor)

Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah memegang jabatan sbg Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sbg Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis ta’lim bernama al-Ghazali. Majelis yg berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dgn dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak2 (TK) hingga menengah atas.

Selama masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar2 tentang Islam di beberapa negara, antara lain Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang yg terampil dan dinamis.

Selama hidupnya, tokoh NU yg telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku terjemahannya yg paling dikenal yaitu Minhajul ‘Abidin (Menuju Mukmin Sejati) dari karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yg paling dikenal dan terus dipelajari oleh para santrinya di beberapa pesantren yg berada di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yaitu Ana Muslim.

Dalam memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan2 yg telah ia terbitkan. Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah). Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu kekuatan yg dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan bahasa.

Diantaranya ia menyatakan: ”Anda saudaraku, karena kita sama2 menyembah Tuhan yg satu. Mengikuti Rasul yg satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama2 lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama2 bernaung dibawah langit kemanusian yg sempurna. Dan sama2 berpijak pada bumi kepahlawanan yg utama”.

Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba oleh mereka yg ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk diamalkan.

Tampaknya ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah2nya umat Islam di dunia ini sehingga kaum yg memusuhinya dgn mudah mengadu domba diantara kita. Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yg paling benar, sedangkan yg lainnya salah.

Sekalipun ia mantan pimpinan Daidanco yg nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan akidah.

Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Di antara karyanya yg terkenal adalah : (1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia), (2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia), (3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia), (4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia), (5) Tafsir al Qur’an (bahasa Indonesia), (6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia), (7) Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait), (8) Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda), (9) Al Alam al Islami (bahasa Arab), (10) Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram (bahasa Arab), (11) Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab), (12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab), (13) Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah (bahasa Arab), (14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia), (15) Al Munqidz min adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia), (16) Panutan Agung (terjemah ke bahasa Sunda).

Ada sejumlah sarjana yg menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof Dr H Ridho Masduki yg menulis disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang “Ukhuwah Islamiyah Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.” Dudi Supiandi, menulis tesis master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.” 

Sumber : Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor
http://kangasepiyantea.blogspot.com
https://www.rumahaswaja.com

Tidak ada komentar:

ads
Diberdayakan oleh Blogger.